Pletak pletuk pletak pletuk, bunyi yang menyapa helm. Ciamis
siang hari diguyur hujan. Hilir mudik kendaraan yang sudah berair pun menghiasi
pandangan mata. Aku yang hendak menuju kampus terpaksa memarkirkan kendaraan
untuk mengubah setelan menjadi jas hujan.
Hujan ini. Ah, hujan lagi. Rasanya tak ingin berjumpa hujan
di jalanan. Sudah sangat sering aku sendu dengan air hujan. Ku lanjutkan
perjalan menuju kampus dengan iringan bunyi pletak pletuk. 15 km jarak rumah ke
kampus pun begitu membosankan saat hujan. Lama sekali.
Gapura “Selamat Datang Ciamis” terpampang jelas di depan.
Jalan ini selalu ku lewati, tapi entah mengapa sekarang rasanya berbeda. Rasa
sesak. Rasa rindu. Rasa sesal bercampur dalam dada. Ada apakah gerangan?
Mengapa perasaanku seperti ini? Apakah dia baik-baik saja? Apa yang sedang dia
lakukan saat hujan seperti ini? Apakah dia ingat tanggal 27 November? Apakah
dia ingat kenangan saat hujan menahan kita di Pangandaran? Inilah
pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sendu saat bertemu hujan di jalan Ciamis.
Aku rindu hujan itu. Aku rindu kenangan tentang hujan. Aku
rindu seseorang yang ada dalam kenangan itu. Aku rindu hujan bersamamu. Aku
sangat ingin membahas kenangan ini bersamamu hujan. Nyaris selalu ada rindu
tentang hujan. Selalu ada kenangan tentang hujan. Setiap rintik-rintiknya
adalah tinta yang tak habis dikumpulkan. Tak habis dibaca. Tak habis ditulis
hanya dalam satu lembar kertas. Tetapi beribu-ribu bahkan berjuta-juta kertas
masih dapat terisi tentang hujan dan kenangannya.
Seperti itulah aku, kamu dan hujan. Bagai air hujan yang tak
pernah pergi meninggalkan dunia. Selalu ada hujan tiap tahunnya. Tinta pun tak
pernah pergi meninggalkan kertas. Selalu ada tinta tiap kertas. Selalu ada
cerita yang harus saya kumpulkan saat hujan. Cerita tentang aku, kamu dan
hujan. Cerita yang takkan pernah dilupakan. Karena selalu hadir dalam setiap
rongga hidupku saat hujan.
Hujan kali ini seolah menyayat hati. Mengingat kenangan
tentangnya. Membuat dada semakin sesak. Bahkan air mata pun seolah berirama
dengan air hujan yang terus menemani perjalanan menuju kampus. Ya Tuhan, aku
hanya ingin berpasrah diri kepada-Mu. Berpasrah atas apa yang telah
kuperjuangkan untuk dia. Untuk dia yang selalu kuharapkan dapat menemani hari-hariku.
Menemani setiap hembusan nafas. Menemani setiap detak jantung. Menemani setiap
tinta yang kutulis.
Ah, Tuhan. Curahan hati ini selalu kulakukan saat hujan.
Saat ku merasa begitu dekat denganmu karena hujan ini adalah utusanmu. Utusan
untuk menemani air mata ini. Aku yakin itu Tuhan. Aku yakin bahwa Engkau selalu
mendengarkan keluh kesahku saat hujan. Sehingga selalu dan selalu kulakukan ini
saat hujan tiba. Karena hujan tak pernah rela meninggalkannya, tak pernah
benar-benar melupakannya, karena cinta-Mu telah kuberikan untuk dia. Aku
menyayanginya. Aku merindukannya. Aku mencintainya tulus karena-Mu. Apakah dia
juga tahu tentang perasaanku ini? Entahlah, yang tahu perasaanku hanyalah
Engkau, Yang Maha Tahu, sang pencipta hujan.
Hujan bersamanya begitu indah, begitu intim, dan
menghangatkan. Aku sedang ingin bercerita dengan-Mu. Hari itu, Ciamis tercinta
aku tinggalkan saat teman-teman berlatih drama untuk pentas di kampus ungu.
Tanpa pamit pada semua teman, aku segera pergi meninggalkan kelas yang sibuk
mempersiapkan drama.
Parkiran kampus nampak begitu sepi. Tak seorangpun mahasiswa
menyapaku. Krik krik krik, sms berbunyi dari balik saku celana. Segera kuraih
handphone sebelum memakai helm. Satu pesan diterima dari Danis.
“Dimana, Desti? Lama banget
sih.”
“Maaf Kak, aku di parkiran. Sekarang otw.”
Tanpa basa-basi, aku pergi meninggalkan kampus untuk menemui
Danis yang sudah menunggu sejak tadi pagi, dengan maksud menuju Pangandaran.
Cuaca sore itu sangat bersahabat dengan kami. Awan mendung tak menampakkan diri
akan hujan. Perjalanan Ciamis-Pangandaran pun sangat kami nikmati dengan
perasaan bahagia. “Akhirnya aku pergi bersamamu, Danis”, ucapku dalam hati.
Sesampainya di Pangandaran, senja merona langit sore. Senja
sangat menggoda. Senja luar biasa memanjakkan mata. Senja oh senja. Senja
memberi kenangan di November 2014. Senyum simpulku menggores bibir merekah.
Menyambut senja dengan perbedaan.
Kedatangan dua orang yang disambut kepergian mentari. Bagai
jawaban dari dosa kami. Dosa kepada kedua orangtua yang kami bohongi. Hari itu,
aku berizin untuk menginap di rumah teman karena latihan drama yang tak kunjung
selesai. Dia berizin untuk ikut test kerja di salah satu perusahaan yang ada di
Bandung. Yupssss, itulah kebohongan.
Dua orang yang berbohong. Dua orang yang berlainan jenis kelamin. Pergi
berwisata hanya untuk menetralisasi pikiran. Hanya bermodal nekad dan
keyakinan.
Jarum jam menunjukkan angka 17.45 WIB. Pangandaran di depan
mata. Satu kata, satu rasa, satu tujuan, liburan. Lagi dan lagi aku bergumam
dalam hati, “Terima kasih Danis, akhirnya aku bisa liburan bersamamu.”
Perasaan lega menghampiri. Saat seorang bapak menawarkan
tempat penginapan yang sesuai dengan kantong kami. Maklum, kami datang ke
tempat ini dengan uang secukupnya. Perbincangan hangat pun terjadi saat aku
mulai menghitung uang bekal.
“Nah, pintar. Itu memang bagianmu. Aku hanya memberi uang
untuk kebutuhan rumah tangga kita nanti. Benar kan, Des?” Ujar Danis sambil
tersenyum ke arahku.
“Hehehe, iya. Bisa saja.” Jawabku dengan malu-malu.
Pletak pletuk pletak pletuk, bunyi hujan di atas genting.
Ah, saat itu hujan malah menghampiri langit Pangandaran. Keinginanku menikmati
liburan pun terasa sedikit mengecewakan. Karena hujan menahan kami untuk tetap
di penginapan. Pikiranku tertuju pada apa yang akan kami lakukan di tempat ini saat
hujan. Dinding berukuran 2x3 m saksi kebingunganku. Dia yang pamit untuk
istirahat sejenak mungkin malah terlelap tidur karena hujan yang begitu deras.
Sedangkan aku hanya bisa asyik dengan remote TV dan handphone di tangan.
“Sudahlahlah, Desti. Mau menonton TV mah di rumah saja. Ngga
harus jauh-jauh ke Pangandaran”, ucap Danis dengan nada sedikit jutek.
“Bosan Kak, aku ingin menonton TV saja. Siapa tahu ada acara
yang seru.”
“Ngga ada, sudah
sini istirahat sama aa. Sekali saja tinggalkan handphone dan TV. Kita
istirahat, kasihan tubuhmu pasti lelah. Aa ngga
akan macam-macam sama kamu kok.”
“Iya deh iya, sebentar”, ucapku sambil menghampirinya.
Aku memang lelah karena seharian kuliah. Tapi datang ke sini
juga bukan mau tidur, melainkan liburan, mengusir kepenatan setelah PPL. Tetapi
sayang, hujan menahan keinginanku. Saat itu yang saya pikirkan hanya ingin
bersenang-senang denganmu dan sudah janji akan menuruti semua keinginan orang yang
berada di sampingku.
Hujan yang semakin deras berbanding lurus dengan detak
jantung yang semakin cepat. Was-was dengan keaadaan wajah dia yang tepat satu
jengkal di depan wajahku. Ah, perasaan ini, perasaan yang sudah sejak dulu
disimpan erat-erat, janganlah jujur saat ini, aku tak kuasa. Tiba-tiba, entah
sadar atau tidak, dia memperkecil jarak tubuhnya dengan tubuhku. Dia memelukku
dengan erat, mencium keningku, dan berkata “miss
you”. Yeaaaah, itulah yang dia
lakukan. Kami terlibat perbincangan hangat bagaikan sepasang kekasih yang sudah
dihalalkan oleh Tuhan. Aku yang gugup menerima perlakuan dia, sempat menjawab “miss you too” dengan senyuman dan dia
pun membalas dengan senyuman.
Perjalanan menuju kampus yang awalnya membosankan, kini
menjadi menyedihkan. Ya Tuhan, lagi lagi aku harus ingat kejadian itu.
Kehangatan di Pangandaran waktu itu sangat mirip dengan kehangatan hujan kali
ini. Waktu itu dia memang tidak berbuat macam-macam. Hanya memeluk dan mencium
keningku. Tetapi mengapa kenangannya selalu saya ingat sampai sekarang? Bahkan
saat hujan menghampiri, selalu ada nama Danis dalam rintik-rintik hujan.
Namanya sudah menyihir desir-desir hati yang penuh harap.
Aku sadar, saat ini dia bukan kekasihku. Dia kekasih orang
lain. Aku hanyalah teman dekatnya. Jika dia jodohku, dia akan menjadi kekasih
halalku. Suatu saat nanti dialah yang akan mendampingiku di pelaminan.
Keyakinan ini sangat nyata dan saya tak pernah ingin meninggalkannya, apapun
keadaaanya. Karena-Mu, kumenyayangi dan mencintainya, seperti tinta yang
mencintai kertas.